Pages

Rabu, 20 April 2016

Unrequited Love

Pedih…mungkin itu yang bisa gue gambarkan setelah melihat bagaimana banyak orang menggambarkan tentang cinta yang tak terbalas, unrequited love.

Tentang bagaimana orang hanya lewat begitu saja menyaksikan orang yang mereka cinta memiliki orang lain yang bertempat di hatinya. Tapi bukannya berhenti, orang – orang yang memilih untuk terus memperjuangkan cintanya dengan dalih dan maklumat bahwa “cinta memang harus diperjuangkan”, atau “it’s fine. It is the best. Love is indeed an adony, yet it is an irony”, atau “bukan seperti ini seharusnya, gue harus mencari jawaban yang sebenarnya”. Kebanyakan orang yang demikian biasanya akan terjebak di situasi terbutakan, terabaikan kemudian terlupakan.

Satu teori yang gue amini adalah Charlie Brown dalam komik nya yang berjudul “peanuts”. Charlie Brown berkata bahwa jika jatuh cinta membuat kotoran serasa seperti selai kacang. Diceritakan bahwa Selai kacang memiliki rasa yang kuat dan bisa mengalahkan rasa yang lain bahkan setelah kita memakan banyak makanan lainnya, tapi rasa dari selai kacang akan tetap terasa di mulut kita. Satu – satunya yang bisa menghilangkan rasa selai kacang di mulut adalah rasa dari cinta yang tak terbalas.

“There’s nothing like unrequited love to drain all the flavour out of a peanut butter in my mouth”. So does it say.

Unrequited love juga akhir – akhir ini banyak gue temui di anime yang gue tonton. Mulai dari cerita soal berjanji, menunggu, namun kemudian salah satu pihak berhenti menunggu dan salah satu pihak dilupakan di “byousoku 5 centimeter” hingga ke dilema dalam menentukan siapa sebenarnya orang yang pantas untuk dicintainya di “true tears”. Entah mengapa kisah tentang unrequited love menjadi bahan bacaan/tontonan kesukaan gue akhir – akhir ini.

Namun satu hal yang pasti yang dapat gue simpulkan soal unrequited love adalah hanya rasa sakit, sesak, dan “mengambang” lah yang akan kita temui saat kita merasakan cinta tak terbalas. Kemudian disitu kita punya pilihan untuk menerima rasa sakit itu atau menghindarinya. Saat kita merasakan cinta tak terbalas, kita bukannya tidak bisa melupakannya, tapi lebih tepatnya kita memilih untuk tidak melupakannya. Kita membiarkan rasa selai kacang itu tetap menempel di lidah kita karena kita menikmatinya. Because it is good. It ‘was’ good setidaknya sampai kita berpikir seperti itu.

0 komentar: